Ibnul Qayyim berkata,”
Tahun adalah batang pohon, bulan-bulan adalah dahannya. Hari-hari adalah
ranting rantingnya. Jam-jam adalah daun-daunnya. Dan nafas nafas adalah buah
buahnya. Barangsiapa nafas-nafasnya untuk ketaatan, maka buah pohonnya adalah
baik. Dan barangsiapa nafas-nafasnya untuk kemaksiatan, maka buahnya adalah
hanzhal (buah terpahit). Musim panennya adalah hari pembalasan. Pada saat panen
itulah akan jelas mana buah yang manis dan mana buah yang pahit. Kira kira
bagaimana buah dari umur kita manis atau pahit?”
Untuk menjawab
pertanyaan Ibnul Qayyim, marilah kita bertamasya ke “kebun kebun” ulama salaf
(zaman dulu) dan memetik buah-buahan aneka warna dan sedap rasa dari
pohon-pohon rindang nan hijau elok dipandang mata. Ulama salaf telah mewariskan
khazanah ilmu pengetahuan dan teladan yang mencengangkan dunia. Salafush shalih
berhasil menorehkan contoh mengagumkan dalam memanfaatkan detik detik umur
dalam setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan.
Membaca adalah
kebiasaan para ulama dan orang orang shalih bahkan ketika mereka menghadiri
berbagai walimah dan pertemuan. Al-Fath bin Khaqan selalu membawa kitab (buku)
di saku bajunya. Apabila dia meninggalkan majlis untuk shalat atau kencing, dia
mengeluarkan kitab dan membacanya sambil berjalan hingga dia sampai di tempat
tujuan. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada saat dia kembali kemajlisnya.
Tsa’lab (seorang imam
qira’ah) tidak pernah berpisah dari kitabnya. Apabila dia diundang kesebuah
walimah, dia mensyaratkan agar diletakkan tempat selebar kulit domba sebagai
tempat kitab yang akan dibacanya. An-Nadhr bin Syumail berkata, “seseorang
tidak akan bisa merasakan nikmatnya belajar, sampaiŲ°dia lapar dan melupakan
laparnya.”
Beberapa orang berkata
kepada Abdullah bin Mubarak “Ketika engkau telah menunaikan shalat, mengapa
engkau tidak duduk bersama kami? Dia menjawab, “Saya pergi untuk duduk bersama
para sahabat dan tabi’in”. Mereka bertanya, “dimana mereka?”. Dia menjawab,
“Saya pergi lalu membaca kitab kitab, maka saya mengetahui amal amal dan
keteladanan mereka. Apa yang bisa saya lakukan bersama kalian? Sementara kalian
hanya duduk membicarakan aib orang lain.
Abdullah bin Abdul Azis
Al-Umairi sering menyendiri di kuburan dengan membawa kitab (buku) untuk
dibaca. Dia ditanya tentang itu, diapun menjawab, “Tidak ada nasihat yang lebih
mendalam daripada kuburan. Tidak ada teman yang lebih baik daripada kitab. Dan
tidak ada yang lebih menjamin keselamatan daripada kesendirian.” Ibn Asakir,
selama 40 tahun tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan tasmi’ (mengulang
hafalan hafalannya), mengumpulkan, menulis dan menyusun ilmu sampai pada waktu
pergi buang hajat atau sambil berjalan.
Seorang dokter
mendatangi Abu Bakar al-Anbari dalam keadaan sakit parah. Dokter melihat urine
Abu bakar, kemudian berkata, “Anda telah melakukan (sewaktu mesih sehat dan
kuat) sesuatu yang tidak dilakukan oleh siapapun.” Lalu dokter menemui
keluarganya dan berkata kepada mereka, “hampir tidak ada harapan (dokter
pesimis terhadap kesembuhan penyakitnya).” Lalu keluarganya menemui Abu Bakar
dan menyampaikan ucapan dokter kepadanya dan bertanya, “Apa yang dahulu anda
lakukan?” Abu Bakar menjawab,” Saya menelaah dan membaca setiap minggu sepuluh
ribu lembar.” Masya Allah, semangat yang begitu membara.
Seseorang bertanya
kepada Imam Syafi’i, “Bagaimana semangat anda dalam menuntut ilmu?.Beliau
menjawab,“Ketika mendengar ilmu yang belum pernah saya dapatkan, seakan seluruh
tubuh saya mempunyai telinga untuk mendengarnya.” “Bagaimana kesungguhan anda
dalam mencari ilmu?”. Beliau menjawab,“
Seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayang yang hilang entah kemana.”
Majduddin bin Taimiyah
apabila masuk WC, berkata kepada kepada orang di sekitarnya“Bacalah kitab ini
untukku, keraskanlah suaramu sehingga aku mendengarnya.” Hal ini dia lakukan
karena ingin menjaga waktu buang hajatnya tidak sia-sia. Ahmad bin Ali bertanya
kepada Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi, “Apa penyebab anda banyak mendengar
hadits dari bapakmu dan anda banyak bertanya kepadanya?. Dia menjawab,”Mungkin
karena ketika dia makan, saya belajar hadits kepadanya. Ketika dia berjalan
saya belajar kepadanya. Ketika dia buang hajat, saya belajar kepadanya dan
ketika dia masuk rumah mencari sesuatu, saya belajar kepadanya.” Inilah gairah
membara yang membuahkan karya monumental Imam Abdurrahman bin Abu Hatim “Aljarh
wat ta’dil” dalam 9 jilid besar dan “Al-Musnad” dalam seribujuz(kuranglebih20ribulembar).
Ibn ‘Uqail Al-Hambali
berkata, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku,
sehingga apabila lisanku telah lelah membaca dan berdiskusi, mataku lelah
membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat (berbaring
diatas tempat tidur). Aku tidak berdiri, kecuali telah terlintas di benakku apa
yang akan aku tulis. Dan aku mendapatikesungguhankubelajar
Bahkan kesungguhan Imam
Ibn Uqail dalam menjaga waktunya mencapai tingkat yang mengagumkan. Dia
berkata, “Aku menyingkat semaksimal mungkin waktu waktu makan, sehingga aku
memilih makanan roti basah daripada roti kering (roti basah memerlukan waktu
lebih pendek yang cukup untuk membaca 50 ayat, antara 4-5 menit), karena
selisih waktu mengunyahnya bisa aku gunakan untuk membaca atau menulis suatu
faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” Kira kira apa yang dikatakan Ibn
Aqil kalau dia mendapatkan zaman kita, bahwa kebanyakan manusia menghabiskan
waktu yang lama di meja makan sambil bergurau dan berbincangyangtidakadamanfaatnya?
Amir bin Abdul Qais
melewati orang orang pemalas dan pengangguran. Mereka duduk berbincang bincang
tanpa arah. Mereka berkata kepada Amir, “Kemarilah! Duduklah bersama kami” Amir
menjawab,” Tahanlah matahari agar ia tidak bergerak, baru saya akan nimbrung berbincang-bincangdengankalian.”
Al-Muammal bin Al-Hasan
melihat seorang sahabatnya (Sulaim) menggerakkan kedua bibirnya berzikir kepada
Allah (agar waktunya tidak berlalu sementara dia menganggur) ketika sedang
meraut penanya yang tumpul akibat terus menerus digunakan untuk menulis.
Imam Muhammad Bin Hasan
As Syaibani tidak tidur malam. Dia meletakkan kitab (buku) disisinya untuk
dibaca. Apabila bosan dengan satu kitab berpindah kepada kitab yang lain. Dia
mengusir kantuk dengan air. Dia berkata “sesungguhnya tidur itu karena panas”.
Ubaid bin Ya’isy (salah seorang guru Imam Bukhari) berkata “ saya tidak pernah
makan dengan tanganku di malam hari selama 30 tahun. Adalah saudara perempuanku
yang menyuapkan makanan ke mulutkusementaraakusibukmenulishaditsRasul.”
Imam Al-Muzani (salah
seorang murid Imam Syafi’i) berkata,” Saya membaca kitab Ar-Risalah (kitab
ushul fiqh pertama karangan Imam syafi’i) sebanyak 500 kali, setiap kali
membacanya saya selalu menemukan ilmu yang baru.” Az-Zarkasyi, pada remajanya
berhasil menghafal kitab “Minhajuth Thalibin” karya Imam Nawawi (4 jilid
besar), sehingga ia dijuluki dengan “Minhaj”. Fudhail bin Gazwan berkata, “Aku
pernah duduk duduk bersama Ibnu Syubrumah dan beberapa sahabat lainnya, pada
suatu malam guna berdiskusi (muzakarah) tentang fikih. Lalu kami sama sekali
tidak berdiri hingga mendengar kumandang azan subuh.”
Imam Abdullah bin
Farrukh pergi menemui Abu Hanifah untuk belajar darinya. Ketika Abdullah duduk
di rumah Abu Hanifah, tiba tiba batu bata jatuh dari atap rumah mengenai kepala
Abdullah hingga terluka. Abu Hanifah berkata “ Apakah anda memilih harga denda
atau tiga ratus hadits?” Abdullah menjawab, “Saya memilih tiga ratus hadits.”
Kemudian beliau mengajarinya hadits tersebut.
Khalaf bin Hisyam
berkata, “Sebuah bab dari pelajaran Nahwu sulit bagiku, lalu saya menghabiskan
8000 dirham untuk mempelajarinya, sehingga sayapun paham tentang bab tersebut.”
Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab membeli kitab seharga 500 dinar, tapi ia tidak
memiliki apapun. Lalu ia meminta tempo selama tiga hari. Kemudian dia pergi dan
melelang rumahnya seharga 500 dinar. Maka pemilik kitab membelinya dengan
tunai. Ia pun menjualnya seharga 500 dinar dan membayar harga kitab.
Imam Muhammad bin Ishaq
menuntut ilmu semenjak berusia 20 tahun dan kembali kedaerahnya setelah berusia
65 tahun. Beliau rihlah (perjalanan ilmiah) selama 45 tahun dan kembali ke
daerahnya sudah menjadi tua. Ulama salaf melakukan rihlah dengan naik onta,
bahkan ada yang berjalan kak,seperti Abul ’la Al-Hamdani yang dalam satu hari
mampu berjalan 30 farsakh (sekitar 150 KM) sambil membawa kitab di pundaknya.
Masyruq bin Al-Ajda’ melakukan rihlah karena satu masalah ilmu. Bahkan Hasan
al-Bashri melakukan rihlah karena satu huruf.
Imam Ahmad menghafal
jutaan hadits. Ibnul anbari menghafal 300.000 bait sya’ir tentang bukti
kejaiban Al-Qur’an. Sofyan Ats Tsauri melewati seorang penjahit di pasar sambil
menyumbat telinganya karena khawatir akan menghafal apa yang dikatakannya.
Asy-Sya’bi berkata, “Saya tidak pernah menulis di atas kertas hingga hari ini,
tidak seorangpun yang membacakan hadits kepada saya kecuali saya menghafalnya.”
Beliau tidak perlu menulis karena ilmunya ada di dalam dada laksana tulisan.
Majlis Imam Bukhari di
hadiri oleh 70.000 orang. Majlis Abu Bakar An-Naisaburi dihadiri 30.000 orang.
Majlis Abu Bakar an-Najjad dihadiri oleh 10.000 orang. Majlis Ali Bin ashim
dihadiri oleh lebih 30.000 orang. Majlis Imam Ahmad bin Hanbal tidak kurang
dari 5000 orang.
Tradisi
Menulis Ulama Salaf
Imam Syafi’i -karena
sangat miskinnya- menulis catatan ilmiahnya di atas pelepah kurma, tulang unta,
bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Sampai suatu saat kamarnya penuh sesak
dengan benda tersebut dan tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur.
Akhirnya, beliau menghafal semua catatan itu dan benda tersebut dikeluarkan
dari kamarnya. Karyanya yang terkenal adalah Al-Umm (fikih) dan Ar-Risalah
(ushul fikih). Abu Manshur Muhammad bin Husain -karena sangat fakirnya- menulis
pelajaran dan mengulangi bacaannya di bawah cahaya rembulan.
Imam Al-Bukhari tidur
diatas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari
tidurnya, mengambil korek api dan menyalakan lampu, kemudian menulis hadits dan
memberinya tanda. Ketika beliau menaruh kepalanya untuk tidur, terlintas kembali
di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau menyalakan lampu kemudian menulis
haditsnya dan memberinya tanda. Hal ini beliau lakukan lebih dari 15-20 kali
dalam satu malam. Semangat membara ini melahirkan kitab monumentalnya “Shahih
Bukhari” yang mejadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an, yang ditulis selama 16
tahun. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menulis kitab “Fathul Bari Syarah Shahih
Bukhari” berjumlah 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim
bin Salam menulis kitab “Gharibul Hadits” selama 40 tahun.
Imam Al-Ghazali adalah
seorang ulama multidispilin ilmu. Majelis pengajiannya dijuluki dengan “Majelis
300 sorban besar”. Karyanya tersebar dalam berbagai fan ilmu, yang paling
fenomenal adalah Ihya ‘Ulumuddin (4 jilid besar).
Imam An-Nawawi, seorang
ulama yang sangat menakjubkan. Ia wafat pada usia 45 tahun dan belum sempat
berumah tangga. Tapi kitab yang ditulisnya beratus ribu halaman. Diantara
karyanya yang terkenal adalah Al-Majmu’ dan Minhajuth thalibin (kitab fikih
standar yang dipakai seluruh pesantren di Indonesia).
Inilah sekelumit
“semangat membara” para ulama salaf yang notabenenya tidak mengenal media
pembelajaran canggih; komputer, internet, infokus dan mesin cetak. Mereka tak
mengerti istilah kurikulum yang selalu berganti warna bagai “bunglon” seperti,
CBSA, KBK, KTSP. Bagaimana dengan kondisi kita di era kontemporer dan teknologi
canggih? Berapa judul kitab (buku) yang telah kita hafal dan telaah? Berapa
karya ilmiah yang telah kita lahirkan? Logikanya -dengan berbekal media serba
lux- kita bisa menghasilkan ratusan kali lipat prestasi dibanding mereka. Tapi
realitasnya, kita justru ketinggalan jauh ibarat jaraknya langit dan bumi.
Akankah kita bangkit di tahun baru ini? Jadilah seorang yang kakinya di bumi,
tapi semangatnya menjulang di ketinggianlangit.
Wallahu A’lam
bishhsahwab
Buku-buku agama adalah
cahaya dalam kegelapan. Teman dalam kesendirian dan pembantu dalam setiap
kejadian. Sarana paling penting dalam menuntut ilmu dan meraihnya. Para Salaf,
menjadikan buku-buku sebagai taman dan kebun. Mereka selalu membacanya,
berpindah dari satu taman ke taman yang lain, dari satu kebun ke kebun yang
lain. Mereka merasakan nikmatnya membaca dan belajar melebihi semua kenikmatan
dari dunia yang fana ini.
Ceritakan tentang
orang-orang yang sedang sujud
di belakang mihrab dan
tiang mereka berdoa
Ibnul Jauzi berkata,
"Jalan mencari kesempurnaan belajar ilmu adalah membaca buku-buku yang
telah ditulis. Perbanyaklah membacanya. Karena anda akan melihat ilmu seseorang
dan semangatnya yang tinggi. Apa yang tidak terlintas di benak, dan akan
menggerakkan keinginan untuk belajar. Tidak ada kitab yang tidak memiliki
manfaat."
Saya memceritakan
keadaan diri saya yang tidak pernah kenyang dengan membaca satu buku. Jika saya
melihat satu buku yang tidak pernah saya lihat sebelumnya, saya merasa
seakan-akan mendapatkan sebuah kekayaan. Saya pernah melihat katalog buku-buku
yang diwakafkan di sekolah Nidzamiyah yang memuat enam ribu jilid.
Seandainya saya
berkata, "Saya telah membaca dua puluh ribu jilid, tentu masih banyak yang
belum dibaca. Saya tidak pernah kenyang dalam belajar. Saya belajar dari
pengalaman orang lain, dan salut dengan semangat, hafalan, ibadah dan
ketinggian ilmu mereka. Sesuatu yang tidak akan diketahui kecuali bagi mereka
yang membaca."
Khatib Al-Baghdadi
berkata, "Seseorang bertanya, 'Kenapa anda tidak takut?' Ia menjawab,
'Apakah bisa takut orang yang selalu bersama temannya?'. Kemudian ditanya lagi,
"Siapa teman Anda?" Ia menjawab, "Buku-buku saya."
Beliau juga berkata,
"Disamping buku memiliki manfaat yang agung dan keutamaan yang besar, ia
juga harta yang paling berharga, dan sesuatu yang paling indah. Buku merupakan
teman duduk yang paling bisa menjaga rahasia, yang paling selamat, paling
fasih, dan paling berilmu."
Ibnul Arabi berkata dalam
mensifati kitab,
"Kami punya teman (buku-buku)
yang tidak pernah bosan.
Kami bercengkrama
sehingga bisa memberi keamanan,
Baik ketika sendirian
maupun saat ramai.
Bila kau katakana mereka
adalah benda-benda mati,
Maka anda tidak berdusta.
Bila kau bilang mereka adalah benda-benda hidup,
maka anda juga tidak
berbohong."
Ibnul Mubarak berkata,
"Barang siapa ingin mengambil faedah, maka hendaklah ia melihat
bukunya."
Seorang yang shalih
ditanya, "Siapa yang selalu menemanimu?" Dia memegang kitabnya dan
berkata, 'Ini'. Dia ditanya lagi, "Teman dari kalangan manusia
siapa?" Dia berkata, Orang-orang yang ada dalam buku ini."
Alangkah indah
perkataan seorang penyair,
Sebaik-baik teman
bicara dan kawan adalah buku
Ia akan menghiburmu
ketika engkau dikhianati kawanmu
Tidak membuka rahasiamu
bila kau titipkan padanya
Engkau mendapatkan
hikmah dan kebenaran nyata
Sumber:
102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, Abul Qa'qa Muhammad bin Shalih
Alu Abdillah, Penerbit ELBA
0 komentar:
Posting Komentar